Latar Belakang
Indonesia
adalah negara demokrasi yang menganut sistem “TRIAS POLITICA” yang dicetuskan oleh Montesquieu, membagi
kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Masing-masing lembaga
tersebut tidak dipisahkan secara tegas kekuasaannya yang akan menimbulkan
checking power with power sebagaimana di negara-negara liberal yang menganut
demokrasi bebas, tetapi hanya dengan melaksanakan pembagian kekuasaan tetap ada
keterkaitan dan koordinasi. Ketiga lembaga ini ibarat seperti tali berpilin
tiga, atau tiga kaki sendi tungku untuk satu adonan, dimana bila salah satu
tidak ada atau tidak berfungsi maka yang di dapat dari apa yang dituju adalah
sesuatu yang tidak seperti yang diharapkan sebagaimana mestinya.
Ketiga lembaga
di Indonesia tersebut jika dilihat tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada
masa presidan Soekarno lebih dominan eksekutifnya, begitu juga pada masa
presiden Soeharto. Baru setelah reformasi pada tahun 1998 fungsi legislatif
eksis bersama eksekutif, tetapi itu belum cukup karena masih ada satu lagi
fungsi yang belum eksis yaitu fungsi yudikatif. Fungsi yudikatif baru sekarang
ini hendak difungsikan secara maksimal. Persoalan hukum memang persoalan yang
cukup pelik di negara kita, karena selama ini boleh dikatakan kita tidak begitu
memberi perhatian yang cukup terhadap masalah ini. Kita berharap agar lembaga pemerintah
sebagai lembaga terpisah yang bersinergi dengan dua lembaga lainnya yaitu
legislatif dan yudikatif dapat menjadi lembaga yang independen.
Kekusaan eksekutif dalam
suatu negara ialah kekuasaan dimana dijalankannya segala kebijakan-kebijakan
yang telah ditetapkan badan legislatif dan menyelenggarakan undang-undang yang
telah diciptakan oleh badan legislatif. Akan tetapi, dalam perkembangannya
dalam masa negara modern seperti saat ini kekuasaan badan eksekutif jauh lebih
luas karena kekuasaannya dapat pula mengajukan undang-undang pada lembaga
legislatif.
Definisi Lembaga Eksekutif
Eksekutif
berasal dari kata eksekusi yang berarti pelaksana. Lembaga eksekutif adalah
lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana dari peraturan
perundang-undangan yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Kekuasaan eksekutif
biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Eksekutif merupakan pemerintahan dalam
arti sempit yang melaksanakan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan haluan negara untuk mencapai
tujuan negara yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasinya adalah kabinet
atau dewan menteri dimana masing-masing menteri memimpin departemen dalam
melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Kekuasaan eksekutif dalam
suatu negara merupakan kekuasaan dimana dijalankannya segala
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif.
Menurut
tafsiran tradisional azas Trias Politica yang dicetuskan Montesquieu, tugas
badan eksekutif hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan
oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh
badan legislatif. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya badan eksekutif badan
eksekutif leluasa sekali ruang geraknya. Zaman modern telah menimbulkan
paradoks bahwa lebih banyakundang-undang yang diterima oleh badan legislatif
dan yang harus dilaksanakan oleh badan eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup
kekuasaan badan eksekutifnya.
Memilih
tipe eksekutif sejatinya adalah menentukan suatu pilihan yang cocok, bukan
memilih berdasarkan keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Pilihan tipe
eksekutif lebih kepada bagaimana desain institusional suatu negara, jadi
undang-undang dasarlah yang menentukan tipe kekuasaan eksekutif ini. Tujuan
dari pilihan tipe eksekutif tersebut ialah:
1. Manajemen
konflik dan pemeliharaan sistem
2. Penentuan
dan inovasi kebijakan
3. Koherensi
dan konsistensi kebijakan
4. Keterwakilan
kelompok-kelompok sosial, masyarakat
5. Proteksi
atas kepentingan minoritas
Peran
dan fungsi lembaga eksekutif dalam pemerintahan negara Indonesia
Pemerintahan
adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk
mencapai tujuan. Oleh karenanya pemerintah sering menjadi personifikasi sebuah
negara. Pemerintahan menegakkan hukum dan memberantas kekacauan, mengadakan
perdamaian, dan menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang bertentangan.
Pemerintah adalah badan yang mengatur urusan sehari-hari yang menjalankan
kepentingan bersama. Pemerintah melaksanakan tujuan negara, menjalankan
fungsi-fungsi kesejahteraan bersama. Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana
tersebut di atas, pemerintah membagi kekuasaan kepada beberapa organ dengan
maksud bahwa satu organ itu hanya memegang satu kekuasaan saja, yaitu:
1. Kekuasaan
perundang-undangan diserahkan kepada lembaga legislatif
2. Kekuasaan
pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada lembaga eksekutif
3. Kekuasaan
pengawasan diserahkan kepada lembaga yudikatif
Dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 ayat (1)),
sehingga kekuasaan dan tanggung jawab pemerintahan berada di tangan Presiden.
Secara substantif, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat
diketahui antara lain, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh
prinsip checks and balances yang memadai.
Tahun 1945 biasa disebut executive
heavy, dan hal itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan
presiden. Terjadinya
Reformasi pada Mei 1998 telah membawa berbagai perubahan mendasar dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia. Pertama, sejak jatuhnya kekuasaan
Presiden Soeharto, tidak terdapat lagi pemimpin sentral yang menentukan.
Munculnya pusat-pusat kekuasaan baru di luar negara telah menggeser kedudukan
seorang Presiden RI dari penguasa yang hegemonik dan monopolistik menjadi
kepala pemerintahan biasa, yang sewaktu-waktu dapat digugat bahkan diturunkan
dari kekuasaannya. Kedua, munculnya kehidupan politik yang lebih liberal, yang
melahirkan proses politik yang juga liberal. Ketiga, reformasi politik juga
telah mempercepat pencerahan politik rakyat. Semangat keterbukaan yang ada pada
reformasi telah memperlihatkan kepada publik betapa tingginya tingkat
penyelewengan dari proses penyelenggaraan negara. Keempat, pada tataran lembaga
tinggi negara, kesadaran untuk memperkuat proses checks and balances antara
cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa. Kelima, reformasi
politik telah mempertebal keinginan sebagian elite berpengaruh dan publik
politik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan perubahan mendasar
dalam konstitusi RI.
Prinsip kedaulatan yang berasal dari
rakyat, selama ini diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku kedaulatan rakyat dan sebagai
lembaga tertinggi negera dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Selanjutnya dari
MPR ini, kekuasaan rakyat tersebut seolah-olah dibagi-bagikan secara vertikal
kepada lembaga-lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya. Oleh karena itu
prinsip yang dianut disebut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of
power). Setelah dilakukan perubahan terhadap kelembagaan dan kewenangan MPR
sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berbunyi:
1. Majelis
Pemusyawaratan Rakyat berwenang mengubah Undang-Undang Dasar;
2. Majelis
Pemusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3. Majelis
Pemusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Majelis Pemusyawaratan Rakyat tidak lagi
menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, baik yang berbentuk GBHN
maupun peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut berkaitan dengan perubahan UUD 1945
yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh
rakyat. Dengan ketentuan baru tersebut, secara teoritis berarti terjadi
perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu sistem yang
vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi horisontal fungsional
dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara
(checks and balances).
Demikian pula dengan perubahan yang
berkaitan dengan kekuasaan Presiden dan DPR, perubahan pertama UUD 1945
terhadap Pasal 5 dan Pasal 20 dipandang sebagai permulaan terjadinya pergeseran
executive heavy ke arah legislatif heavy. Hal tersebut terlihat dari pergeseran
kekuasaan Presiden dalam membentuk undang-undang yang diatur dalam Pasal 5,
berubah menjadi Presiden berhak mengjukan rancangan undang-undang, dan DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20). Perubahan pasal-pasal
tersebut memindahkan titik berat kekuasaan legislatif nasional yang semula
berada di tangan Presiden beralih ke tangan DPR.
Dengan pergeseran kewenangan membentuk
undang-undang ini maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan
dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks
and balances sebagai ciri pelekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih
jauh dari kesepakatan untuk memperkut sistem presidensiil.
Aspek perimbangan kekuasaan mengenai
hubungan Presiden dan DPR, Presiden dan MA tampak dalam perubahan Pasal 13 dan
14. Perubahan terhadap pasal-pasal tersebut dapat dikatakan sebagai pengurangan
atas kekuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai hak prerogatif.
Perubahan Pasal 13 berbunyi:
1. Dalam
hal mengangkat Duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR;
2. Presiden
menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Sebelum ada perubahan, Presiden sebagai
kepala negara mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri duta dan konsul serta
menerima duta negara lain. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka Presiden
dalam mengangkat dan menerima duta besar sebaiknya diberikan pertimbangan oleh
DPR.
Perubahan Pasal 14 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi sebagai berikut:
Perubahan Pasal 14 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi sebagai berikut:
1. Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung;
2. Presiden
memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perawakilan
Rakyat.
Alasan perlunya Presiden memperhatikan
pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam pemberian grasi dan rehabilitasi adalah
: pertama, grasi dan rehabilitasi merupakan proses yustisial dan biasanya diberikan
kepada orang yang sudah mengalami proses, sedang amnesti dan abolisi ini lebih
bersifat proses politik, kedua, grasi dan rahabilitasi lebih banyak bersifat
perorangan, sedangkan amnesti dan abolisi biasanya bersifat massal. Mahkamah
Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi adalah lembaga negara yang paling
tepat dalam memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai hal itu, karena
grasi menyangkut putusan hakim, sdangkan rehabilitasi tidak selalu terkait
dengan putusan hakim.
Sementara itu, DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasari pada pertimbangan politik.
Sementara itu, DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasari pada pertimbangan politik.
Melalui perubahan UUD 1945, Presiden
diberikan kewenangan untuk membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas
memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur
dengan undang-undang. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara. Dengan demikian,
perubahan UUD 1945 tetap memberikan kekuasaan eksekutif kepada Presiden dengan
membatasi kewenangannya.
Peran
dan fungsi badan eksekutif dalam Student Goverment
Badan Eksekutif
dalam Student Government atau lebih dikenal dengan Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) adalah organisasi intra kampus yang berorientasi pada pengembangan bakat,
minat, dan potensi mahasiswa. BEM mempunyai peranan penting dalam menjalankan
amanat dan aspirasi mahasiswa adapun fungsi yang di perankan BEM di antaranya
pertama berfungsi sebagai konsulidator, fasilitator dan penyampai aspirasi yang
efektif bagi segenap elemen mahasiswa. Badan eksekutif seharusnya dapat
menjadi motor penggerak bagi seluruh mahasiswa. Kedua sebagai perangkat sosial
yang inten mendampingi masyarakat kampus (mahasiswa) dalam mengawal
proses kesejahteraan dan keadilan secara ideal. Dalam fungsi eksekusi ini BEM
dituntut agar mampu mengembangkan kapabilitas dan kredibilitas mahasiswa
sebagai Agent Of Change dalam tata kehidupan sosial.
Dalam
perkembangannya, BEM sebagai lembaga eksekutif di tataran kampus harus mampu
merancang sebuah program – program yang sistematis, inovatif, dan
edukatif berdasarkan aspirasi dan kebutuhan mahasiswa demi kemaslahatan
kampus pada umumnya. Bekal pengetahuan dan keterampilan yang telah di peroleh
ini, mahasiswa tentunya akan mempunyai fundament (dasar) yang kuat guna terjun
dalam realitas kehidupan masyarakat karena persoalan bangsa ini ke depan bukan
sekedar polemik-polemik dalam panggung politik saja namun, juga menjadi lebih
kompleks pada sektor ekonomi, agama, pendidikan, pangan dan sebagainya.
Sudah banyak
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh BEM namun sosialisasi kepada mahasiswa
kurang maksimal, cukup banyak mahasiswa yang tidak melihat ataupun tidak
mengerti terhadap eksistensi BEM karena di setiap kegiatannya jarang ada
kemasan kegiatan yang cukup besar dan menyentuh terhadap mahasiswa keadaan
tersebut kadang menjadi pemicu miss komunikasi antara mahasiswa dengan
pengurus BEM ketika mengklarifikasi kegiatan. Pemilihan ketua BEM (Presiden
mahasiswa) biasanya di lakukan secara singkat tanpa melalui beberapa sistem
sehingga tak jarang dari beberapa mahasiswa, mengeluh dan menyayangkan hal ini.
Badan eksekutif
dituntut harus mampu memahami keinginan mahasiswa yang dituangkan dalam setiap
program kerjanya. Badan eksekutif yang ideal ialah badan eksekutif yang
visioner yaitu memiliki gambaran kemana roda kehidupan mahasiswa ini diarahkan.
Sebagai badan pengambil kebijakan politis, tentunya badan eksekutif harus
mempergunakan kewenangan politiknya dengan tepat guna dan sebaik-baiknya untuk
mewujudkan kesejahteraan mahasiswa. Disamping itu, badan eksekutif dituntut
untuk mampu menjalankan fungsi advokasi mahasiswa yang berupa fungsi
memperjuangkan hak-hak mahasiswa di lingkungan universitas. Sekali lagi, fungsi
tersebut tak lepas dari politik yang dimiliki oleh sebuah badan eksekutif di
lingkungan mahasiswa.
Badan eksekutif
harus menjalin suatu hubungan kerja sama yang baik dengan badan legislatif
sebagai perwujudan mahasiswa melalui wakil-wakilnya agar tercipta suatu
kesepahaman dan tatanan yang harmonis sehingga tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan mahasiswa dapat terpenuhi dengan baik. Untuk mencipta suatu badan
eksekutif yang baik tentunya harus diawali dengan permulaan yang baik pula.
Sebuah badan eksekutif harus dibentuk dan disahkan secara aklamasi melalui
suatu proses yang demokratis. Hal ini bertujuan agar badan eksekutif dapat
menjadi cerminan dari keinginan mahasiswa dimana orang-orang yang duduk di
badan eksekutif haruslah ditunjuk oleh mahasiswa karena idealismenya.
Jiwa
komitmen yang harus dimiliki oleh pengurus badan eksekutif
Ketergerakan
mahasiswa untuk ikut serta dalam membangun kolegium masih dirasa kurang. Bila
ditelusuri ada beberapa faktor yang mempengaruhi fenomena ini: merasa tidak
punya kemampuan, merasa tidak mendapat manfaat, suasana yang tidak menyenangkan
yang ada di dalam organisasi, dll. Di satu sisi aktifis-aktifis kemahasiswaan
mengalami fenomena yang dinamakan ke-multi-amanah-an, sedangkan di sisi lain
ada mahasiswa yang mengalami musibah nganggur-luar-biasa-nggak-ada-kerjaan.
Kembali ke peran pemimpin. Inilah yang harus menjadi tanggung jawab para
pemimpin di kolegium. Visi dan misi BEM seharusnya bukan hanya milik pengurus
BEM dan pengurus lembaga saja, namun hendaknya menjadi pedoman arah gerak
seluruh mahasiswa, seluruh anggota kolegium, yang notabene adalah anggota BEM
juga. Peningkatan soft skill, peningkatan wawasan kebangsaan, skill
kepemimpinan, dll. bukan hanya milik pengurus lembaga, namun hendaknya semua
anggota kolegium dapat mendapatkan dirinya dikembangkan bersama-sama dengan
pengurus yang lain.
Pengurus
BEM haruslah memiliki skill kepemimpinan, wawasan yang luas, profesional,
sinergi, kontributif, jujur, amanah, fathonah, tabligh, pendidikan yang
berkualitas, dan bermoral kebangsaan. Badan Eksekutif Mahasiswa merupakan wadah
kaderisasi organisasi di lingkungan kampus yang mempunyai tanggung jawab secara
moral dan struktural untuk mempersiapkan kader-kader yang militan, handal,
tangguh dan memiliki akhlak serta tanggung jawab moral secara terus menerus
untuk melakukan penguatan di tingkat basis.
Profesionalisme
yang harus dimiliki oleh pengurus badan eksekutif
Aktivis BEM harus mempunyai komitmen dan
profesionalisme untuk
bekerja sesuai aturan yang telah ada ataupun disepakati bersama. Rapi dalam segala tindakan dan tertib administrasi,
diantaranya :
a. Solutif
Meningkatkan cara-cara kontribusi yang semakin baik,
cepat dan mudah. Penyederhanaan dapat dilakukan dalam hal memecahkan masalah
dengan tidak menerapkan peraturan yang kaku; mengambil keputusan dan
aktifitas/proses dengan cepat. Sikap sederhana dapat juga direfleksikan dalam
penggunaan anggaran yang tidak boros, efisien, dan tidak mubadzir.
b.
Team
work
Aktivis BEM harus mengutamakan team work dari pada kerja individu. Sehingga membangun sinergi dan
terbentuknya kerja tim yang kuat. Menghilangkan sekat vertikal ( Kepala dan
staff kementrian, Ketua dan kementrian), sekat horizontal ( sesama
staff antar kementrian), agar terciptanya semua aktivis BEM yang bisa
berpartisipasi dan berkontribusi. Dengan kerjasama akan memunculkan ide,
kreatifitas dan gagasan banyak orang, sehingga tugas yang berat menjadi lebih
ringan , dapat dilakukan lebih cepat, lebih cerdas dan lebih inovatif.
c.
Religius
Aktivis BEM bekerja sesuai norma-norma kepercayaan
masing-masing dan mempunyai moral yang tinggi.
d.
Jujur
Aktivis BEM menjunjung
tinggi nilai-nilai kejujuran, berkata itidak melebih-lebihkan dan mengurangi
esensi informasi sehingga tidak akan terjadi kesalahan persepsi.
e. Bertanggung
jawab
Aktivis BEM harus berani mengambil risiko dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang
diperbuatnya meskipun itu berat.
f.
Produktif
dan kreatif
Bersikap produktif dan kreatif serta tidak mematikan
potensi aktivis BEM. Mampu bersosialisasi dengan baik dan menciptakan suasana
kondusif dan iklim kompetisi antar kementrian yang sehat.
g. On
time
Aktivis
BEM harus patuh waktu dan tepat waktu dalam segala pertemuan BEM maupun
menghadiri acara yang di adakan oleh pihak luar., sehingga akan membangun
sebuah image positif lembaga,
menunjukan profesionalisme, dan menumbuhkan budaya disiplin.
Kesimpulan
Lembaga
eksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana dari peraturan
perundang-undangan yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Berdasarkan azas trias politica pemerintahan Indonesia
dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Kekuasaan
perundang-undangan diserahkan kepada lembaga legislatif
2. Kekuasaan
pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada lembaga eksekutif
3. Kekuasaan
pengawasa
n diserahkan kepada lembaga yudikatif
Kampus
juga merupakan tatanan yang memiliki susunan seperti negara, disini badan
eksekutif yang ada di kampus disebut Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang
mempunyai peranan penting dalam menjalankan amanat dan aspirasi mahasiswa,
adapun fungsi yang di perankan BEM di antaranya pertama berfungsi sebagai konsulidator,
fasilitator dan penyampai aspirasi yang efektif bagi segenap elemen
mahasiswa. Badan eksekutif seharusnya dapat menjadi motor penggerak bagi
seluruh mahasiswa. Kedua sebagai perangkat sosial yang inten mendampingi
masyarakat kampus (mahasiswa) dalam mengawal proses kesejahteraan dan
keadilan secara ideal. Dalam fungsi eksekusi ini BEM dituntut agar mampu
mengembangkan kapabilitas dan kredibilitas mahasiswa sebagai Agent Of Change
dalam tata kehidupan sosial.
Pengurus Badan Eksekutif
haruslah memiliki skill kepemimpinan, wawasan yang luas, profesional, sinergi,
kontributif, jujur, amanah, fathonah, tabligh, pendidikan yang berkualitas,
bermoral kebangsaan, Solutif, Team work, Religius, Bertanggung jawab, Produktif dan kreatif, serta On time.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar